Jumat, 24 Desember 2010

asslmualaikum ustad....
ku mw nnya ni....
kmrin aq prnah bca
hadist tntang yg d bwh
ini,tp aq lupa hdist n
mkna nya.
1.shlat berjamaah spya d
sgerakan/d cpatkan,krna
d antra mkmum ada yg
pnya kperluan.
2.hukum nya tntang
muslim yg baligh,klo
mandi telanjang'.
tlong d tnjukan hadist
nya ustad.
aslmkum..
02 Oktober jam 3:00 · Suka
Denz Imannizer Lpiazon
menyukai ini.
Tanya Jawab Masalah
Islam Waalaikum
salam,wr,wb.
Allah –Ta’ala- berfirman,
”Sesungguhnya orang-
orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka,
dan apabila mereka
berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan
malas. Mereka
bermaksud riya (dengan
shalat) di hadapan
manusia. dan tidaklah
mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali ”.
(QS.An-Nisaa’: 14)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-
Asqolaniy –rahimahullah-
berkata: “Tidaklah
dikumandangkan (adzan)
sholat sejak 40 tahun lalu,
kecuali Sa ’id ibnul
Musayyib berada di
dalam masjid ”. [Lihat
Tahdzib At-Tahdzib (4/87)]
Sesungguhnya dalil-dalil
syari ’at telah
menganjurkan untuk
bersegera menunaikan
amal salih dan bergegas
dalam melaksanakan
berbagai kewajiban.
Salah satunya adalah
dalam masalah
mendatangi masjid dan
duduk di dalamnya guna
menunggu sholat.
Allah ta ’ala berfirman
وُعِراَسَوْا ىَلِإ
ٍةَرِفْغَم نِّم ْمُكِّبَّر
ٍةَّنَجَو اَهُضْرَع
َواَمَّسلاُتا ُضْرَألاَو
ْتَّدِعُأ قَّتُمْلِلَنيِ
)لآ نارمع:133 ).
“Bersegeralah menuju
ampunan dari Rabb
kalian dan surga yang
luasnya seluas langit dan
bumi dan dipersiapkan
untuk orang-orang yang
bertakwa. ” (QS. Ali
Imran: 133)
Allah ta ’ala juga
berfirman,
قِبَتْساَفاوُ
اَرْيَخْلاِت )ةدئاملا:48 )
“Berlomba-lombalah
kalian dalam
kebaikan. ” (QS. al-
Ma’idah: 48)
Allah ta’ala berfirman
mengenai orang-orang
terpilih di antara hamba-
hamba-Nya,
عِراَسُيَوَنوُ يِف
اَرْيَخْلاِت )لآ ارمع:114 ) .
“Mereka itu senantiasa
bersegera dalam
mengerjakan kebaikan-
kebaikan. ” (QS. Ali Imran:
114)
Syaikh Abdurrahman as-
Sa ’di rahimahullah
mengatakan, “Perintah
untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan adalah
perintah yang
mengandung nilai lebih
daripada perintah untuk
melakukan kebaikan.
Sesungguhnya dalam
sikap bersegera
melakukannya sudah
tercakup ketundukan
sikap untuk
melakukannya,
menyempurnakan dan
menempatkannya pada
kondisi yang sesempurna
mungkin serta bergegas
menunaikannya. Barang
siapa yang di dunia ini
lebih dulu dalam
melakukan kebaikan-
kebaikan maka di akhirat
pun dia akan menuju
surga terlebih dulu.
Orang-orang yang
mendahului itu adalah
golongan manusia yang
lebih mulia derajatnya.
Kebaikan yang dimaksud
mencakup semua
kewajiban dan perkara
sunnah, baik yang berupa
sholat, puasa, haji,
umrah, jihad,
memberikan
kemanfaatan yang
meluas kepada orang lain
maupun yang terbatas
bagi diri pribadi. ” (Tafsir
Ibnu Sa’di [1/112])
Sesungguhnya berangkat
awal menuju masjid dan
menunggu didirikannya
sholat serta menyibukkan
diri dengan dzikir dan
baca ’an al-Qur’an
ataupun mengerjakan
sholat-sholat sunnah
merupakan salah satu
sebab turunnya ampunan
dan tergolong kebaikan
yang paling agung. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah
menyebutkan secara
garis besar pahala yang
agung bagi perbuatan
bersegera ini dalam
sabdanya ‘alaihis sholatu
was salam,
ولو نوملعي ام يف ريجهتلا
اوقبتسال هيلإ
“ Seandainya mereka
mengetahui keutamaan
tahjir/bersegera untuk
sholat niscaya mereka
akan berlomba-lomba
untuknya. ” (HR. Bukhari
[590] dan Muslim [437])
an-Nawawi berkata,
“ Tahjir adalah bergegas
menunaikan sholat
secara umum, termasuk
kategori apapun sholat
itu. al-Harawi dan yang
lainnya mengatakan: al-
Khalil mengkhususkan
keutamaan ini dalam hal
sholat jum ’at saja.
Namun, pendapat yang
benar lagi populer adalah
pendapat yang
pertama. ” (Syarh Muslim
[4/402] lihat pula Fath al-
Bari [2/97])
06 Oktober jam 8:50 · Suka · Hapus
Tanya Jawab Masalah
Islam Seorang muslim
yang baik, berusaha
untuk menyempurnakan
setiap amalnya. Karena
hal itu sebagai bukti
keimanannya. Maka
shalat harus menjadi
perhatian utamanya.
Dapat dibayangkan,
bagaimana ketika imam
bertakbir, terlihat para
makmun bertakbir sambil
mengangkat tangannya
secara serempak ketika
imam mengucapkan amin
terdengar keserasian
dalam mengikutinya.
Tidak salah, jika ada yang
mengatakan, bahwa
persatuan dan kesatuan
umat terlihat dan lurus
dan rapat suatu shaf,
sebagaimana yang
disabdakan oleh
Rasulullah:
Hendaklah kalian
luruskan shaf kalian, atau
Allah akan memecah
belah persatuan kalian.1
Pembahasan ini terbagi
menjadi dua bagian.
Pertama, adad-adab
imam. Kedua, Adab-adab
makmum.
Tidak diragukan lagi,
bahwa tugas imam
merupakan tugas
keagamaan yang mulia,
yang telah diemban
sendiri oleh Rasulullah;
begitu juga dengan
Khulafa' Ar Rasyidin
setelah beliau.
Banyak hadits yang
menerangkan tentang
fadhilah imam.
Diantaranya sabda
Rasulullah "Tiga golongan
di atas unggukan misik
pada hari kiamat,"
kemudian beliau
menyebutkan, diantara
mereka, (ialah) seseorang
yang menjadi imam untuk
satu kaum sedangkan
mereka (kaum tersebut)
suka kepadanya. Pada
hadits yang lain
disebutkan, bahwa dia
memperoleh pahala
seperti pahala orang-
orang yang shalat di
belakangnya.2
Akan tetapi -dalam hal
ini- manusia berada di
dua ujung pertentangan.
Pertama, menjauhnya
para penuntut ilmu dari
tugas yang mulia ini,
tatkala tidak ada
penghalang yang
menghalanginya menjadi
imam. Dan yang kedua,
sangat disayangkan,
"masjid pada masa
sekarang ini telah sepi
dari para imam yang
bersih dan berilmu dari
kalangan penuntut ilmu
dan ahli ilmu -keuali
orang-orang yang
dirahmati oleh Allah-.
"Bahkan kebanyakan
yang mengambil posisi ini
dari golongan orang-
orang awam dan orang-
orang yang bodoh.
Semisal, dalam hal
memba a Al Fatihah saja
tidak tepat, apalagi
menjawab sebuah
pertanyaan si penanya
tentang sebuah hukum
atau akhlak yang dirasa
perlu untuk agama
ataupun dunianya.
Mereka tidaklah maju ke
depan, kecuali dalam
rangka mencari
penghasilan dari jalannya
dan dari pintunya.
"Secara tidak langsung, -
para imam seperti ini-
menjauhkan orang-orang
yang semestinya layak
menempati posisi yang
penting ini. Hingga, -
sebagaimana yang terjadi
di sebagian daerah kaum
muslimin- sering kita
temui, seorang imam
masjid tidak memenuhi
kriteria kelayakan dari
syarat-syarat menjadi
imam. "Oleh karenanya,
tidaklah aneh, kita
melihat ada diantara
mereka yang mencukur
jenggot, memanjangkan
kumis, menjulurkan
pakaiannya (sampai ke
lantai) dengan sombong,
atau memakai emas,
merokok, mendengarkan
musik, atau
bermu'amalah dengan
riba, menipu dalam
bermua'amalah, memberi
saham dalam hal yang
haram, atau istrinya
bertabarruj, atau
membiarkan anak-
anaknya tidak shalat,
bahkan kadang-kadang
sampai kepada perkara
yang lebih parah dari apa
yang telah kita sebutkan
di atas." 3
Di bawah ini, akan
dijelaskankan tentang
siapa yang berhak
menjadi imam, dan
beberapa adab berkaitan
dengannya, sebagaimana
point-point berikut ini.
1. Menimbang diri,
apakah dirinya layak
menjadi imam untuk
jama'ah, atau ada yang
lebih afdhal darinya?
a) Penilaian ini tentu
berdasarkan sudut
pandang syari'at.
Diantara yang harus
menjadi penilaiannya
ialah:4
b) Jika seseorang sebagai
tamu, maka yang berhak
menjadi imam ialah tuan
rumah, jika tuan rumah
layak menjadi imam.
c) Penguasa lebih berhak
menjadi imam, atau yang
mewakilinya. Maka
tidaklah boleh maju
menjadi imam, kecuali
atas izinnya. Begitu juga
orang yang ditunjuk oleh
penguasa sebagai imam,
yang disebut dengan
imam rawatib.
d) Kefasihan dan
kealiman dirinya.
Maksudnya, jika. ada
yang lebih fasih dalam
membawakan bacaan Al
Quran dan lebih 'alim,
sebaiknya dia
mendahulukan orang
tersebut. Hal ini
ditegaskan oleh hadits
yang diriwayatkan Abi
Masud Al Badri dari
Rasulullah bersabda:
Yang (berhak) menjadi
imam (suatu) kaum, ialah
yang paling pandai
membaca Kitabullah. Jika
mereka dalam bacaan
sama, maka yang lebih
mengetahui tentang
sunnah. Jika mereka
dalam sunnah sama,
maka yang lebih dahulu
hijrah. Jika mereka dalam
hijrah sama, maka yang
lebih dahulu masuk Islam
(dalam riwayat lain:
umur). Dan janganlah
seseorang menjadi
imamterhadap yang lain
di tempat kekuasaannya
(dalam riwayat lain: di
rumahnya). Dan
janganlah duduk di
tempat duduknya, kecuali
seizinnya.5
e) Seseorang tidak
dianjurkan menjadi imam,
apabila jama'ah tidak
menyukainya. Dalam
hadits yang diriwayatkan
Ibnu disebutkan: Tiga
golongan yang, tidak
terangkat shalat mereka
lebih satu jengkal dari
kepala mereka: (Yaitu)
seseorang menjadi imam
suatu kaum yang
membencinya.6
Berkata Shiddiq Hasan
Khan, "Dhahir hadits
yang menerangkan hal
inl, bahwa tidak ada
perbedaan antara orang-
orang yang membenci
dari orang-orang yang
mulia (ahli ilmu, pent),
atau yang lainnya. Maka,
dengan adanya unsur
kebencian, dapat menjadi
udzur bagi yang layak
menjadi imam untuk
meninggalkannya.
Kebanyakan, kebencian
yang timbul terkhusus
pada zaman sekarang ini
-berasal dari
permasalahan dunia. Jika
ada di sana dalil yang
mengkhususkan
kebencian, karena
kebencian (didasarkan,
red.) karena Allah,
seperti seseorang
membenci orang yang
bergelimang maksiat,
atau melalaikan
kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya,
maka kebencian ini
bagaikan kibrit ahmar
(ungkapan untuk
menunjukkan sesuatu
yang sangat langka,
pen.). Tidak ada
hakikatnya, kecuali pada
bilangan tertentu dari
hamba Allah. (Jika) tidak
ada dalil yang
mengkhususkan
kebencian tersebut,
maka yang lebih utama,
bagi siapa yang
mengetahui, bahwa
sekelompok orang
membencinya -tanpa
sebab atau karena sebab
agama agar tidak
menjadi imam untuk
mereka, pahala
meninggalkannya lebih
besar dari pahala
melakukannya.7
06 Oktober jam 8:59 · Suka · Hapus
Tanya Jawab Masalah
Islam Berkata Ahmad dan
Ishaq,
"Jika yang membencinya
satu, dua atau tiga, maka
tidak mengapa ia shalat
bersama mereka, hingga
dibenci oleh kebanyakan
kaum." 8
2. Seseorang yang
menjadi imam harus
mengetahui hukum-
hukum yang berkaitan
dengan shalat, dari
bacaan-bacaan shalat
yang shahih, hukum-
hukum sujud sahwi dan
seterusnya. Karena
seringkali kita
mendapatkan seorang
imam memiliki bacaan
yang salah, sehingga
merubah makna ayat.
Sebagaimana yang
pernah penulis dengar
dari sebagian imam
sedang membawakan
surat Al Lumazah, dia
menguapkan "Allazi
jaama'a maalaw wa
'addadah", dengan
memanjangkan "Ja",
sehingga artinya berubah
dari arti 'mengumpulkan'
harta, menjadi
'menyetubuhi'nya.9
Na'uzubillah.
3. Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat
shalat demi menjaga
keadaan jama'ah dan
untuk memudahkannya.
Batasan dalam hal ini,
ialah mencukupkan
shalat dengan hal-hal
yang wajib dan yang
sunat-sunat saja, atau
hanya mencukupkan hal-
hal yang penting dan
tidak mengejar semua
hal-hal yang
dianjurkan.10
Di antara nash yang
menerangkan hal ini,
ialah hadist yang
diriwayatkan oleh Abu
Hurairah
Jika salah seorang kalian
shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia)
mentakhfif, karena pada
mereka ada yang sakit,
lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia
shalat sendiri, -maka
berlamalah
sekehandaknya."11
Akan tetapi perlu diingat,
bahwa takhfif merupakan
suatu perkara yang
relatif. Tidak ada
batasannya menurut
syari'at atau adat. Bisa
saja menurut sebagian
orang pelaksanaan
shalatnya terasa panjang,
sedangkan menurut yang
lain terasa pendek,
begitu juga
sebaliknya.Oleh
karenanya, hendaklah
bagi imam dalam hal ini
mencontoh yang
dilakukan Nabi, bahwa
penambahan ataupun
pengurangan yang
dilakukan beliau dalam
shalat, kembali kepada
mashlahat. Semua itu,
hendaklah dikembalikan
kepada sunnah, bukan
pada keinginan imam,
dan tidak juga kepada
keinginan makmum.12
4. Kewajiban imam untuk
meluruskan dan
merapatkan shaf.
Ketika shaf dilihatnya
telah lurus dan rapat,
barulah seorang imam
bertakbir, sebagaimana
Nabi mengerjakannya.
Dari Nu'man bin Basyir
(ia) berkata, "Adalah
Rasulullah meluruskan
shaf kami. Seakan-akan
beliau meluruskan anak
panah. Sampai beliau
melihat, bahwa kami
telah memenuhi
panggilan beliau.
Kemudian, suatu hari
beliau keluar (untuk
shalat). Beliau berdiri,
dan ketika hendak
bertakbir, nampak
seseorang kelihatan
dadanya maju dari shaf,
Beliaupun berkata:
Hendaklah kalian
luruskan shaf kalian, atau
Allah akan
memecahbelah persatuan
kalian.13
Adalah Umar bin Khattab
mewakilkan seseorang
untuk meluruskan shaf.
Beliau tidak akan
bertakbir hingga
dikabarkan, bahwa shaf
telah lurus. Begitu juga
Ali dan Utsman
melakukannya juga. Ali
sering berkata, "Maju,
wahai fulan! Kebelakang,
wahai fulan!"14
Salah satu kesalahan
yang sering terjadi,
seorang imam
menghadap kiblat dan dia
mengu apkan dengan
suara lantang, "Rapat
dan luruskan shaf,"
kemudian dia langsung
bertakbir.
Kita tidak tahu, apakah
imam tersebut tidak tahu
arti rapat dan lurus. Atau
rapat dan lurus yang dia
maksud berbeda dengan
rapat dan lurus yang
dipahami oleh semua
orang?!
Anas bin Malik berkata,
"Adalah salah seorang
kami menempelkan
bahunya ke bahu
kawannya, kakinya
dengan kaki kawannya."
Dalam satu riwayat
disebutkan, "Aku telah
melihat salah seorang
kami menempelkan
bahunya ke bahu
kawannya, kakinya
dengan kaki temannya.
Jika engkau lakukan pada
zaman sekarang, niscaya
mereka bagaikan keledai
liar (tidak suka
denganhal itu, pen)."15
Oleh karenanya, Busyair
bin Yasar Al Anshan
berkata, dari Anas Bahwa
ketika beliau datang ke
Madinah, dikatakan
kepadanya, "Apa yang
engkau ingkari pada
mereka semenjak engkau
mengenal Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Tidak
ada yang aku ingkari dari
mereka, kecuali mereka
tidak merapatkan shaf."
16
Berkata Syaikh Masyhur
bin Hasan hafizhahullah,
"Jika para jama'ah tidak
mengerjakan apa yang
dikatakan oleh Anas dan
Nu'man; maka celah-
celah tetap ada di shaf.
Kenyataanya, Jika shaf
dirapatkan, tentu shaf
dapat diisi oleh dua atau
tiga orang lagi. Akan
tetapi, Jika mereka tidak
melakukannya, niscaya
mereka akan jatuh ke
dalam larangan syari'at.
Diantaranya:17
a) Membiarkan celah
untuk syetan dan Allah
putuskan perkaranya,
sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu
Umar, bahwasanya
Rasulullah bersabda,
"Luruskanlah shaf kalian,
dan luruskanlah pundak-
pundak kalian, dan
tutuplah celah-celah.
Jangan biarkan celah-
celah tersebut untuk
syetan.
"Barangsiapa yang
menyambung shaf,
niscaya Allah akan
menyambung
(urusan)nya. Barangsiapa
yang memutuskan shaf,
niscaya Allah akan
memutus (urusan)nya." 18
b) Perpecahan hati dan
banyaknya perselisihan
diantara jama'ah.
c) Hilangnya pahala yang
besar, sebagaimana
diterangkan dalam hadits
shahih, diantaranya
sabda Rasulullah,
Sesungguhnya Allah dan
MalaikatNya mendo'akan
kepada
orang yang menyambung
shaf.19
5. Meletakkan orang-
orang yang telah baligh
dan berilmu di belakang
imam. Sebagaimana yang
disabdakan oleh
Rasulullah, Hendaklah
yang mengiringiku orang-
orang yang telah baligh
dan berakal, kemudian
orang-orang setelah
mereka, kemudian orang-
orang setelah mereka,
dan janganlah kalian
berselisih, niscaya
berselisih juga hati
kalian, dan jauhilah oleh
kalian suara riuh seperti
di pasar.20
6. Membuat sutrah
21ketika hendak shalat.
Hadits yang
menerangkan hal ini
sangat masyhur.
Diantaranya hadits Ibnu
Umar, Janganlah shalat,
kecuali dengan
menggunakan sutrah
(pembatas). Dan jangan
biarkan seseorang lewat
di hadapanmu. Jika dia
tidak mau, maka
perangilah dia,
sesungguhnya
bersamanya Sayton.22
Sedangkan dalam shalat
berjama'ah, maka
kewajiban mengambil
sutrah ditanggung oleh
imam. Hal ini tidak ada
perselisihan di kalangan
para ulama'.23
Nabi telah menerangkan,
bahwa lewat di hadapan
orang yang shalat
merupakan perbuatan
dosa. Beliau bersabda,
Jika ada orang yang lewat
di hadapan orang shalat
mengetahui apa yang dia
peroleh (dari dosanya itu-
red. vbaitullah), niscaya
dia berdiri selama empat
puluh, (itu) lebih baik
daripada melewati orang
yang sedang shalat
tersebut
Salah seorang rawi hadits
bernama Abu Nadhar
berkata, "Aku tidak tahu,
apakah (yang dimaksud
itu, red. majalah
Assunnah) empat puluh
hari, atau bulan atau
tahun.24
7. Menasihati jama'ah,
agar tidak mendahului
imam dalam ruku' atau
sujudnya, karena
(seorang) imam dijadikan
untuk ditaati.
Imam Ahmad berkata,
Imam (adalah) orang
yang paling layak dalam
menasihati orang-orang
yang shalat di
belakangnya, dan
melarang mereka dari
mendahuluinya dalam
ruku' dan sujud.
Janganlah mereka ruku'
dan sujud serentak
(bersamaan) dengan
imam. Akan tetapi,
hendaklah
memerintahkan mereka
agar ruku' dan sujud
mereka, bangkit dan
turun mereka (dilakukan)
setelah imam. Dan
hendaklah dia berbalik
dalam mengajarkan
mereka, karena dia
bertanggung jawab
kepada mereka dan akan
diminta
pertanggungjawaban
besok. Dan seharusnyalah
imam memperbaiki
shalatnya,
menyempurnakan serta
memperkokohnya. Dan
hendaklah hal itu menjadi
perhatiannya, karena,
jika dia mendirikan shalat
dengan baik, maka dia
pun memperoleh
ganjaran yang serupa
dengan orang yang shalat
di belakangnya.
Sebaliknya, dia berdosa
seperti dosa mereka, jika
dia tidk
menyempurnakan
shalatnya.25
8. Dianjurkan bagi imam,
ketika dia ruku' agar
memanjangkan sedikit
ruku'nya, manakala
terasa ada yang masuk
(sebagai masbuk -red.
vbaitullah), sehingga
(yang masuk itu) dapat
memperoleh satu raka'at,
selagi tidak
memberatkan ma'mum.
Karena kehormatan
orang-orang yang
ma'mum lebih mulia dari
kehormatan yang masuk
tersebut.26
m
06 Oktober jam 9:00 · Suka · Hapus
Tanya Jawab Masalah
Islam Mandi telanjang Di
khalayak ramai
hukumnya adalah haram.
Adapun di tempat yang
tersembunyi atau
tertutup, hukumnya
harus. Berkata Qadhi
‘Iyadh; keharusan mandi
bertelanjang di tempat
yang tertutup atau
tersembunyi dari orang
lain merupakan
pandangan jumhur atau
majoriti ulamak ”.
Keharusan ini berdalilkan
hadis Abu Hurairah r.a.
yang meriwayatkan dari
Rasulullah s.a.w. yang
bercerita; “Adalah Bani
Israel mandi dengan
bertelanjang (sesama
mereka di mana)
sebahagian mereka
melihat kepada
sebahagian yang lain.
Akan tetapi Nabi Musa
a.s. mandi bersendirian
(kerana menjaga
auratnya). Maka mereka
(yakni Bani Isreal)
mendakwa; ‘Demi Allah!
Tidak menghalang Musa
mandi bersama kita
melainkan kerana buah
zakarnya bengkak ’. Satu
hari Musa pergi untuk
mandi. Ia meletakkan
pakaiannya di satu batu.
Tiba-tiba batu itu lari
bersama pakaiannya.
Musa pun keluar dari
tempat mandi itu (dalam
keadaan bertelanjang)
mengekori batu itu
sambil memanggil;
‘ Pakaianku, wahai batu’,
hingga ia dilihat oleh Bani
Isreal. Maka mereka
berkata; ‘Demi Allah!
Tidak ada sebarang
kecacatan pada Musa
(sebagaimana yang
didakwa )’. Musa dapat
mengambil kembali
pakaiannya dan dia lalu
memukul batu
itu ” (Riwayat Imam al-
Bukhari). Berhujjah
dengan hadis ini adalah
satu cabang dari
berhujjah dengan syariat
sebelum Islam.
Sekalipun harus, namun
yang terbaik ialah
menutup aurat (yakni;
sekalipun harus mandi
bertelanjang di tempat
tersembunyi, namun yang
paling baik ialah mandi
dengan menutup aurat).
Dalilnya ialah hadis dari
Mu ’awiyah bin Haidah
r.a. yang menceritakan;
Aku telah bertanya
Rasulullah s.a.w.; “Ya
Rasulullah! Bila masanya
wajib kami tutup dan bila
masanya harus kami
buka ?”. Jawab baginda;
“Jagalah aurat kamu
kecuali kepada isteri
kamu atau kepada hamba
yang kamu miliki ”. Aku
bertanya lagi;
“ Bagaimana jika
sekiranya seseorang dari
kami sedang
bersendirian ?”. Nabi
menjawab; “Allah lebih
layak untuk kamu malu
dari manusia ” (Riwayat
Imam Abu Daud, at-
Tirmizi, an-Nasai dan Ibnu
Majah. Kata Imam at-
Tirmizi; hadis ini hasan).
Imam Abu Laila
menganggahi pandangan
jumhur di mana menurut
beliau; ditegah mandi
telanjang sekalipun
ditempat tertutup atau
tersembunyi kerana air
juga mempunyai
penghuninya.
Mengambil wudhuk
semasa mandi wajib;
mana yang afdhal antara
menyegerakan basuhan
kaki atau menangguhnya
ke hujung mandi?
Harus sama ada hendak
menyegerakan basuhan
kaki atau menangguhnya
iaitu dengan
membasuhnya di hujung
mandi. Dalil
menyegerakannya ialah
hadis ‘Aisyah r.a.. Adapun
dalil menangguhnya ialah
hadis Maimunah r.a..
Kedua-dua hadis tersebut
telah kita bentang tadi
(sila rujuk kembali).
Mana yang afdhal;
menyegerakannya atau
menangguhnya? Majoriti
ulamak berpendapat;
yang afdhal ialah
menangguhnya. Mengikut
pandangan yang rajih
dalam mazhab Syafi’ie;
yang afdhal ialah
menyegerakannya (yakni
menyempurnakan
wudhuk hingga basuhan
kaki). Ini kerana
kebanyakan riwayat dari
‘Aisyah dan Maimunah
menyebutkan bahawa
Nabi s.a.w.
menyempurnakan
wudhuknya hingga
basuhan kaki, tanpa
menangguhnya ke hujung
mandi. Menurut Imam
Malik pula; jika tempat
mandi itu tidak bersih,
elok ditangguhkan
basuhan kaki. Namun jika
tempat mandi itu bersih,
maka yang afdhal ialah
menyegerakan basuhan
kaki. (Nailul-Autar, jil. 1,
kitab at-Toharah, Abwab
al-Aghsal al-
Mustahabbah, bab Sifati
al-Ghusl).
Adakah perlu mengambil
wudhuk sekali lagi
selepas mandi?
Mengambil wudhuk
semasa mandi wajib
hanya disunatkan sekali
sahaja iaitu di awal
mandi. Telah ijmak
ulamak bahawa tidak
disyari ’atkan dua kali
wudhuk dalam satu
mandi. Ini berdalilkan
hadis dari Aisyah r.a.
yang menceritakan;
“ Rasulullah s.a.w. tidak
mengambil wudhuk
selepas mandi junub”.
(Riwayat Imam at-Tirmizi,
an-Nasai dan Ibnu Majah
dari ‘Aisyah r.a.. Berkata
at-Tirmizi; hadis ini hasan
soheh). Kecualilah jika
seseorang telah
melakukan perkara yang
membatalkan wudhuk
selepas selesai mandinya.
Maka ketika itu, wajiblah
ia memgambil wudhuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar